Thursday, April 16, 2015

Sejarah Anton Medan "Dari Bui Menjadi Da'i"

Dari Bui Menjadi Da'i

ANTON MEDAN

Anton Medan (lahir dengan nama Tan Kok Liong).
Lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 1 Oktober 1957 (umur 57 tahun).
Adalah mantan perampok dan bandar judi yang kini telah insaf.
Ia memeluk agama Islam sejak 1992.
Ia mendirikan rumah ibadah unik dan berasitekrut ala China yang diberi nama Masjid Jami' Tan Kok Liong.
Masjid itu terletak di areal Pondok Pesantren At-Ta'ibin, Pondok Rajeg, Cibinong.
Tan Kok Liong atau yang lebih dikenal dengan nama Anton Medan (57) adalah mantan mafia kelas kakap ibu kota yang kini sudah tobat dan kini menjadi penceramah.
Rekam jejaknya yang cukup panjang di dunia hitam membuat Anton Medan sudah merasakan hidup dari balik bui sejak kecil.
Perjalanan dari BUI mengantarkannya menjadi seorang Da'i.
Sepanjang hidupnya, Anton mengaku sudah 14 kali keluar masuk penjara
Akrab dengan kehidupan di "HOTEL PRODEO" membuatnya mengetahui seluk-beluk lapas.
Anton membandingkan perbedaan penjara di masa sebelum reformasi dengan masa kini.
Menurutnya, penjara di masa kini sudah jauh lebih baik.
Masa lalu Anton Medan sangat lekat dengan kriminalitas.
Dulunya, pemilik nama kecil Tan Kok Liong ini kondang sebagai perampok dan bandar judi kalas kakap ibu kota.
Pria kelahiran Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 1 Oktober 1957 itu harus menghabiskan 18 tahun 7 bulan mendekam di balik jeruji besi untuk menebus kejahatannya.
Namun, Anton Medan telah berubah.
Sejak memeluk Islam pada 1992, dia tinggalkan dunia kriminal dan mulai menjadi penyiar agama Islam sebagai seorang Da’i.
Awalnya, Anton Medan yang bernama Islam Muhammad Ramdhan Effendi ini mengaku tak mudah memeluk Islam.
Latar belakang seorang kriminal menjadi batu sandungan terbesarnya.
Dia mengaku pernah tiga kali ditolak masuk Islam.
Anton Medan Bersama Erisya Hapsari (Istri) : 
Kini, Anton Medan berceramah dari penjara ke penjara.
Memberikan ‘PENCERAHAN" kepada para nara pidana yang senasib dengannya dulu.
Tak hanya itu, Anton Medan juga mempunyai Pondok Pesantren Terpadu bernama At-Taibin dan mendirikan masjid yang diberi nama Tan Hok Liang di Jl. Raya kampung Sawah RT.02 RW.08 Kampung Bulak Rata Kelurahan Pondok Rajeg Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Anton mengaku ikhlas berceramah dari satu penjara ke penjara lainnya.
Bagi Anton, berbagi pengalaman dengan narapidana adalah sebuah kepuasan batin tersendiri.
Dia juga mengatakan hidupnya terasa semakin nikmat karena sebagian hartanya bisa dia gunakan menghidupi yayasan pendidikannya.
Anton Medan Bersama Erisya Hapsari (Istri) : 

Kisah semasa Kecil :

NAMA saya Tan Kok Liong, tapi biasa dipanggil Kok Lien.
Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara.
Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi.
Ketika saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah.
Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD.
Mulai saat itulah saya menjadi tulang punggung keluarga.
Saya sadar, mungkin inilah garis hidup saya.
Saya terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari
Pada usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing Tinggi.
Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus.
Suatu ketika, saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus.
Tapi entah mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa menunggu kiriman uang dari saya.
Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus tersebut.
Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya.
Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib.
Di hadapan aparat kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah.
Saya menuntut hak saya yang tak diberikan oleh sopir bus itu.
Sebetulnya, saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib.
Saya ingin hidup wajar-wajar saja.
Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing itu terulang kembali di Terminal Medan.
Namun, selama di Terminal Tebing Tinggi, saya menjadi calo.
Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi pencuci bus.
Suatu ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan uang, ternyata robek.
Uang saya pun ikut lenyap.
Saya tahu siapa yang melakukan semua itu.
Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya.
Saya peringatkan saja dia.
Ternyata, mereka malah memukuli saya.
Waktu itu saya berumur 13 tahun.
Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar.
Saya sakit hati, karena tak satu pun teman yang membantu saya.
Tanpa pikir panjang, saya ambit parang bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia.
Dia pun tewas.
Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi.
Saat itu saya diganjar empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai.
Masih saya ingat, ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Anton Medan Bersama Erisya Hapsari (Istri) :

Merantau ke Jakarta :

Setelah bebas dari penjara, saya pulang kampung.
Tak pernah saya sangka, ternyata orang tua saya tak mau menerima saya kembali.
Mereka malu mempunyai anak yang pernah masuk penjara.
Hanya beberapa jam saya berada di rumah.
Setelah itu, saya hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya hanya mempunvai uang seribu rupiah.
Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat paman saya yang pernah menyayangi saya.
Berbulan-bulan saya hidup menggelandang mencari alamat paman.
Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga Besar.
Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman.
Sungguh tak saya sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya.
Hilang sudah harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad saya sudah bulat.
Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara wajar.
Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan.
Kejahatan pertama yang saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk melakukan semua ini.
Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan.
Saya beralih ke dunia rampok.
Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah.
Dan terakhir, saya beralih sebagai bandar judi.
Saat-saat itulah saya mengalami kejayaan.
Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap, penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.

Proses Mencari Tuhan :

Tak terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan) yang sudah saya singgahi.
Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang tersedia.
Di tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan.
Ketika dilahirkan, saya memang beragama Budha.
Kemudian saya berganti menjadi Kristen.
Entah mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram.
Saya menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan, tujuh tahun saya mempelajari Islam.
Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama tahanan.
Misalnya, teman-teman yang terkena kasus Cicendo, dan sebagainya.
Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya lalui.
Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat.
Tekad saya sudah bulat. 
Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.

Masuk Islam :

Tapi, kenyataannya ternyata berlainan.
Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh aparat untuk membantu memberantas kejahatan.
Terpaksa ini saya lakukan.
Kalau tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor.
Dalam menjalankan tugas, saya selalu berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid.
Sebutlah misalnya, Hong-lie atau Nyo Beng Seng.
Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras kepadanya.
Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi.
Sudah tak terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta.
Saya pun merambah dunia judi di luar negeri.
Tapi, di situlah awal kejatuhan saya.
Saya kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan saya itulah akhimya yang membuat saya sadar.
Mulailah saya hidup apa adanya.
Saya tidak neko-neko lagi.
Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah masyarakat.
Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat.
Saya lalu masuk Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. 
Setelah itu, saya berganti nama menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam.
Bersama-sama dengan K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono.
10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim Atta’ibin.
Sengaja saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi (narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar.
Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia.
Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta’ibin mempunyai status sebagai Yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
Kini, keinginan saya hanya satu.
Saya ingin mewujudkan pangabdian saya pada masyarakat lebih jauh lagi.
Saya ingin mendirikan pondok pesantren.
Di pondok inilah nantinya, saya harapkan para mantan napi dan tunakarya dapat terbina dengan baik.
Entah kapan pondok pesantren harapan saya itu bisa terwujud.
Saya hanya berusaha.
Saya yakin nur Ilahi yang selama ini memayungi langkah saya akan membimbing saya mewujudkan impian-impian itu.
Aku (Deddy Doank) Bersama Anton Medan 2012 :
Saya mengenal Anton Medan bukan hanya tau lewat TV atau berita-berita dari media elektronik atau media cetak saja.
Tapi saya mengenal langsung beliau (Anton Medan).
Karena selama lima tahun saya pernah tinggal di sarangnya preman sekaligus di gembleng beliau.
Kangen rasanya atas gemblengan dan polesan tangan beliau.
Sudah enam tahun saya tinggalin At-Tai'ibin/Anton Medan.
Aku (Deddy Doank) Bersama Anton Medan 2014 : 
Secara kebetulan istri Anton Medan yaitu Erisya Hapsari adalah seangkatan sama saya waktu kuliyah di Akademi Keperawatan PHI Jakarta.
Kemanapun pergi, selalu barengan, jalan-jalan, bahkan bila mudik ke Indramayupun selalu bareng (Bahaya kalau bareng mandi dan tidur mah hehe...).
Alhamdulillah dia masih selalu mengingatku di kala saya susah.
Keluargaku Bersama  Anton Medan dan Erisya Hapsari : 
  
Waktu saya dalam pencarian pekerjaan.
Disitulah Erisya Hapsari mengajak saya untuk mengurus klinik atau Balai Pengobatan yang ada di Yayasan At-Tai'bin (Yayasan milik Anton Medan).
Sayapun bukan hanya fokus di Klinik/BP saja.
Tapi di (BLK) Balai Latihan Kerja Exs Napi dan Premanpun saya ikut andil.
Dari nyablon, bikin cat, ngejahit, masang umbul-umbul, masang spanduk dll.
Bahkan sayapun ikut berperan dalam proyek pembangunan Pondok Pesantren Terpadu AT-Ta'ibin.
Anton Medan Bersama Karang Taruna :
Walau sekarang jarak sudah memisahkan  antara Cibinong dan Majalengka tapi komunikasi masih terus berjalan.
Bahkan pada tahun 2011 bapak pernah saya undang.
Dalam Rangka Halal Bihalal Bersama Karang Taruna.
Di dusunku Sukaresmi Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka.
YouTube Halal Bihalal Bersama Anton Medan :
Itulah sekelumit tentang Perjalanan kisah Anton Medan.
Seorang exs Napi dan Preman kelas kakap ibu kota.
Yang sekarang telah berubah menjadi Da'i kondang.
"DARI BUI MENJADI DA'I"

Trimakasih pak (Anton Medan)...???
Yang telah menggembleng saya selama (5 tahun) dari awal tahun 2004 sampai dengan 2009.

Terimakasih bapak atas wejangan dan nasehat bijak yang mengajarkan saya untuk selalu melakukan hal-hal positif dalam kerasnya hidup ini.
Sehingga saya bisa kuat dan tegar seperti sekarang ini.
Saya kangen omelan bapak.
Saya kangen cacian bapak terhadap saya.
Bapak berbuat seperti itu terhadap saya hanya semata-mata biar saya dan anak-anak binaan bapak yang lain agar menjadi manusia yang berguna.
Orang pun tau latar belakang bapak itu hitam.
Tapi polesan bapak selalu positif terhadap kami.
Mudah-mudahan bapak selalu di berikan kesehatan, panjang umur, selalu di berikan rezeki yang berlimpah, Barokah dan Berkah dari Allah SWT.
Youtube Kisah Anton Medan :
Wassalam...